Debat Estafeta Sastra: Goenawan Muhammad Melirik Wahyu NH. Aly

1325063013112149864

Esai oleh: Tim Penulis *

Abu Khurairah, Zaid bin Tsabit dan Anas bin Malik adalah deretan sastrawan masa tetas ekspantif Islam. Kebersihan sastra yang mereka miliki, mendorong Muhammad sang Rasulullah untuk memercayakan al-Hadits pada mereka. Suatu titipan peradaban universal sepanjang zaman, sebagai hadiah logis dari independensi sastra yang suci.

Nafas sastra terus berhembus ke masa berikutnya seperti Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, termasuk sastrawan Indonesia Goenawan Muhammad dan Wahyu NH. Aly, nama-nama penerus estafeta sastra modern terkemuka. Kualifikasi setiap sastrawan, tentunya juga memiliki corak dan prinsip yang tidak sama. Lensa perbedaan inilah yang dapat menentukan nilai independensi sastra di tengah arus pragratisme, kekuasaan atau kedudukan yang menggiurkan. Pada tulisan ini diulas secara sederhana dua sastrawan Indonesia antara Gunawan Muhammad dengan Wahyu NH. Aly.

Continue reading

Bedah Sastrawan Monumental Wahyu NH. Aly dan William Shakespeare

(Wahyu NH. Aly dan William Shakespeare)

Oleh Muhammad Akrom*

13226786981897576621Sebutlah William Shakespeare, penulis novel kenamaan yang mampu menghipnotis jutaan warga dunia. Kisah apik perjalanan cinta Romeo dan Juliet mampu mencuri perhatian dan berlabuh dalam samudera yang dibuatnya. Hingga saat ini, belum ada karya tandingan yang bisa menembus prestasi karya William ini. Sepotong buku, berhaluan imajinatif, dari sudut ruangan kecil, karya itu terlahir.

Wahyu NH. Aly, nama yang tak asing di kalangan aktifis dan pemuda di Indonesia, namun tentunya belumlah cukup familiar bila disejajarkan dengan penulis novel seperti William Shakespeare. Meskipun demikian, Wahyu NH. Aly, sastrawan muda yang memiliki perpaduan sinergis antara dunia khayal dengan dunia nyata, juga menelurkan karya-karya fiksi yang cukup monumental.

Kegelisahan dan sorotan imajinatif yang terus menyala bersamaan dengan kobarnya zaman dan keuletan dalam membingkai kisah menjadi berlian, adalah tangga untuk melahirkan penulis novel tersohor. Novel Metamorfosis Cinta, merupakan salah satu di antara karya-karya Wahyu yang sangat memukau. Meliat kandungan dan penyampaian novel Metamorfosis Cinta ini, sudah selayaknya menjadi bacaan masyarakat di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin.

Mengingat a-histori karya Wahyu, saya teringat dengan lima penulis novel ajaib. Twilight (Stephenie Meyer). Stephenie Meyer terbangun dari mimpi tentang sepasang kekasih muda yang berbaring di padang rumput sedang mendiskusikan mengapa cinta mereka tidak pernah bisa bersatu. Misery (Stephen King). King sedang tertidur dalam pesawat dan bermimpi tentang seorang fans yang menculik pengarang favoritnya dan menjadikannya sebagai sandera. Ketika ia terbangun, King duduk di bandara dan menulis 40-50 halaman pertama dari novel ini.

Continue reading

Wahyu NH Aly; Vis a Vis Agama dan Negara

(Versus Tiga Pemikir Islam Kontemporer)

Oleh: Basyar Dikuraisyin
Pimpinan Umum Lembaga Kajian Sinergia Yogyakarta (LKSY)

Abad kontemporer dikenal sebagai abad pertarungan ideologi. Muhammad Abduh dengan pemikiran moderatnya dalam merespon agama dan negara, Rasyid Ridha melalui dialektika integralistik, dan Ali Abd Al-Raziq dengan paham pemikiran sekularistiknya. Tiga tokoh pemikir “otentik islamiyah-sulthoniyah” merupakan manifesto pembuktian manusia sebagai pengarah peradaban. Para tokoh dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.

Sekuleristik diartikan bahwa seorang kepala negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik daripada kepala negara muslim namun berbuat zalim,  dan  ini merupakan aliran Ali Abd Al-Raziq. Kemudian, pada golongan Moderat yang menganggap bahwa Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan ialah Muhammad Abduh. Adapun tipologi yang menggunakan tipe integralistik, dimana Islam dan agama menyatu adalah versi Muhammad Rasyid Ridha.

Ketiganya, Ali Abd Al-Raziq, Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha, tampak compang ketika dibenturkan dengan negara. Teori mereka diatas hanya memberikan gambaran umum mengenai responsi antara vis a vis negara dan agama. Teori ketiganya belum mampu menjawab secara rinci dan riil mengenai permasalahan negara. Sehingga, “anak zaman” yang sekarang ini ditunggu, adalah generasi yang mampu menggedor dan membobol problematika negara dengan unifikasi tiga teori yang islamis dan nasionalis.

Continue reading

Budayawan Muda yang ‘Menantang’

(Potret Pemikiran Budayawan Muda Wahyu NH. Al_Aly)

Oleh: Herman Wahyudi
Penulis dan Direktur Kajian Islam Metodologik Sunan Kalijaga (KIMeSuKa)

Kontrol pemerintah, membina masyarakat, ‘menyantuni’ kaum intelektual, kesemuanya merupakan tugas seorang budayawan. Seorang budayawan harus memiliki konstruksi pemikiran yang kritis –kritis terhadap segala situasi yang menggelisahkan rakyat (sosial), kritis terhadap segala hal yang mengiris nurani dan kritis terhadap segala hal yang menggelitik (nilai-nilai) agama. Begitulah kira-kira intisari dari statemennya yang berhasil penulis petik saat berinteraksi langsung (face to face) dengan budayawan muda Wahyu NH. Al-Aly. Meliat realitas sepak terjang Wahyu NH. Aly sendiri, ia merupakan sosok budayawan muda yang sederhana yang selalu tampil kritis dan optimis.

Melalui pemikirannya yang kritis menyorot pelbagai problematika yang menggelisahkan rakyat, mengiris nurani dan menggelitik (nilai) agama, yang (tulisan-tulisannya) selalu muncul di berbagai media massa, juga menjadi suatu indikasi ideal klasifikasi Wahyu NH. Aly (Wahyu Nur Hidayat) sebagai seorang budayawan yang memiliki ke-khas-an tersendiri. Sosok budayawan muda yang sesungguhnya, yang berbeda dengan budayawan produk kapitalis umumnya di Indonesia. Setidak-tidaknya, ia budayawan dalam tipologi yang diidealkan oleh masyarakat intelektual atau oleh pengagum/penggemar Wahyu yang dari kalangan masyarakat umum.

Continue reading

Mengkritisi Pemikiran Emha Ainun Nadjib dengan Sulfik Wahyu NH. Aly

Oleh: Tim Penulis *

Marut Negara yang terus melesat tanpa kompromi, semakin menggoda para ilmuan untuk berdialektika. Barangkat dari latar problematika Negara yang kian buram, kecamuk pemikiran meraimaikan vis a vis kenegaraan. Beragam sudut pandang saling tarik-ulur berkepanjangan. Dari agama, sosial dan lembaga lainnya menempel erat dalam tiap gebrakan yang dilakukan. Di sini, ditampilkan pemikiran dua budayawan yang cukup masif dalam menyampaikan visi kenegaraan melalui pendekatan agama, Emha Ainun Nadjib dan Wahyu NH. Aly.

Cak Nun, panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, salah satu sastrawan sekaligus cendikiawan muslim, menelorkan pemikirannya dalam kancah keindonesiaan. Menjadikan retorika keislaman sebagai “alat pencongkel” kebenaran, merupakan bagian dari langkah Cak Nun.

Continue reading