Wahyu NH Aly; Vis a Vis Agama dan Negara


(Versus Tiga Pemikir Islam Kontemporer)

Oleh: Basyar Dikuraisyin
Pimpinan Umum Lembaga Kajian Sinergia Yogyakarta (LKSY)

Abad kontemporer dikenal sebagai abad pertarungan ideologi. Muhammad Abduh dengan pemikiran moderatnya dalam merespon agama dan negara, Rasyid Ridha melalui dialektika integralistik, dan Ali Abd Al-Raziq dengan paham pemikiran sekularistiknya. Tiga tokoh pemikir “otentik islamiyah-sulthoniyah” merupakan manifesto pembuktian manusia sebagai pengarah peradaban. Para tokoh dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.

Sekuleristik diartikan bahwa seorang kepala negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik daripada kepala negara muslim namun berbuat zalim,  dan  ini merupakan aliran Ali Abd Al-Raziq. Kemudian, pada golongan Moderat yang menganggap bahwa Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan ialah Muhammad Abduh. Adapun tipologi yang menggunakan tipe integralistik, dimana Islam dan agama menyatu adalah versi Muhammad Rasyid Ridha.

Ketiganya, Ali Abd Al-Raziq, Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha, tampak compang ketika dibenturkan dengan negara. Teori mereka diatas hanya memberikan gambaran umum mengenai responsi antara vis a vis negara dan agama. Teori ketiganya belum mampu menjawab secara rinci dan riil mengenai permasalahan negara. Sehingga, “anak zaman” yang sekarang ini ditunggu, adalah generasi yang mampu menggedor dan membobol problematika negara dengan unifikasi tiga teori yang islamis dan nasionalis.

Melihat pemikiran-pemikiran Wahyu NH. Al_Aly (Wahyu Nur Hidayat Aly), boleh dikata dialah sosok “anak zaman” yang sedang ditunggunya. Pemikirannya yang moderat, sekuler dan integralistik mengantarkannya pada deretan pemikir kontemporer. Nasionalisme yang dibungkus dalam prinsip, dasar, tonggak dan koridor keislaman, adalah corak pemikiran Wahyu.

Kritik pedas dari espektasi negara, mulai dari kebijakan pemerintah, fatwa MUI hingga pada masalah mendasar mengenai prinsip berbangsa yang baik, menjadi bidikannya selama ini. Ia sering melontarkan kritik yang disertai dengan pisau analisa keislaman yang tajam.

Menelaah pemikiraan Wahyu melalui relevansi pemikiran ketiga tokoh sebelumnya, sepertinya Wahyu sedang memosisikan diri sebagai penjembatannya.  Sekularistik, misalnya. Lahirnya pemikiran ini berdasar pada klaim terhadap agama yang normatif, tekstual dan serba multi interpretasi. Sedangkan negara massif, kontekstual dan obyektif. Sehingga memasukkan agama dalam koridor negara, mengantarkan negara pada lubang penafsiran yang normatif. Begitupula Wahyu, ia sepertinya juga mengadopsi pemikiran sekularistik, namun perlu dicatat, sekularistik yang dipakai Wahyu adalah “nasionalis-ilmiah”.

Pertama, Wahyu dalam pemikirannya membedakan agama dengan negara, tapi bukan pembedaan mutlak seperti pemikiran Abdul Raziq. Sekularistik versi Wahyu adalah mengesampingkan sisi keislaman secara teks, tapi memasukkan nilai keislaman ke dalam retorika negara. Berpandangan, dengan nilai agama universal, memosisikan negara hanya percikan dari nilai agama.

Pemikiran Wahyu yang cukup tajam dan aplikatif cukup banyak. Di antaranya saat ia membom-bardir fenomena kiai, aktifis Islam, pemikir Islam, yang apabila ditelaah secara mendalam diketahui sisi kecintaannya yang mendalam terhadap rakyat miskin tanpa melihat “bulu” pemikiran mereka. Menunjukkan pemikiran Wahyu disini membicarakan keadilan, bukan bermaksud memisahkan negara dengan agama, yang dengan kata lainnya, pemikiran Wahyu berupaya mengaplikasikan nilai agama pada negara; keadilan.

Kedua, moderat. Penguasaan keislaman yang mumpuni dan jiwa nasionalisme yang dimiliki Wahyu, menciptakan pemikiran moderat untuk mendamaikan antara sekuralistik simbolik dengan islamisme parsial. Pemikiran moderat Wahyu disini dimaknai sebagai penengah (penjembatan) dari kedua corak pemikiran sebelumnya. Wahyu mencoba memberikan jembatan pemikiran yang lebih proporsioal dengan menggunakan penelitian studi elektrik ke samping. Yakni nasioalis-islamis, sebuah pemikiran yang mengandalkan logika negara dan agama.

‘Memerdekakan’ rakyat dari jeratan penguasa sebagai asumsi sekaligus bukti penengah negara dan agama, maka sisi yang muncul dalam pemikiran tersebut adalah fungsi kerakyatan. Dalam negara menginginkan rakyat sejahtera, begitu juga dengan agama yang mendambakan kesejahteraan ummat. Kata-kata kesejahteraan menjadi penengah dari persaingan agama dan negara. Disini, di antara pemikiran-pemikiran Wahyu diletakkan.

Ketiga, integralistik. Dalam bahasa hukum, dikenal dengan istilah unifikasi formal. Penyatuan antara agama dan negara dalam seluruh bingkai kehidupan dan ketatanegaraan. Kadang, agama menjadi penyelemat, pisau kritik, dasar pembangun negara. Kadang pula, negara yang menjadi pengingat terbongkarnya nilai luhur agama. Negara menjadi pemecut peran dan fungsi agama yang sebenarnya.

Tulisan mengenai “Kafir dalam Fenomena Terorisme,” “Pahala Besar bagi Penggugat Pemerintah,” dan banyak tulisan Wahyu lainnya, adalah penyatuan pemikiran yang integral. Dimana agama memberikan respon terhadap pemerintah, mengkritisi ketimpangan pemerintah dalam menjalankan kepemimpinannya, sekaligus memberikan ruang bagaimana menciptakan negara yang adil dan makmur, sebagaimana tujuan agama dan negara. Bahwa, agama dan negara menjadi bagian yang bersatu.

Kala pemerintah duduk santai mendengar sekularistik, yang artinya agama tumpul merespon negara, pemikiran Wahyu menggangu tidur nyenyak mereka. Agama yang ditampilkan oleh Wahyu seakan menjelma jadi cambuk ampuh untuk mengkritisi seluruh ketidakadilan pemerintah. Sehingga agama tampak hidup merespon permasalahan negara. Ini mengingatkan kita ketika Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha diusir dari Mesir, tatkala menggemakan ketimpangan pemimpin Mesir saat itu.

Dengan demikian, mengamati secara mendalam pemikiran-pemikiran Wahyu di antara tiga pemikir kontemporer di atas, Wahyu memerankan dirinya berada pada deretan tengah. Pemikiran Wahyu, penulis istilahkan “nasionalis-islamis.” Dimana komponen ketiga pemikiran sebelumnya bersatu di dalam pemikiran Wahyu, dan bertujuan untuk menciptakan kesehteraan dunia, baik dari aspek pemikiran, sikap dan tingkah laku. Dengan demikian, Muhammad Abduh, Wahyu NH. Al_Aly, Muhammad Rasyid Ridha dan Ali Abdul Raziq, merupakan empat pemikir “Islam-negara”, dengan kendali pemikiran saat ini dipegang oleh Wahyu NH. Aly. Harapan penulis, pemikiran tokoh-tokoh ini selanjutnya diamalkan oleh masyarakat ataupun pemerintah dalam beragama sekaligus dalam hal bernegara.

Leave a comment